Bangkalan, REALITA – Setiap tahun, pada 30 Oktober, Indonesia merayakan Hari Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), mengenang diterbitkannya mata uang resmi pertama bangsa sebagai simbol kemandirian sejati. Namun, narasi heroik tentang kedaulatan moneter yang baru lahir ini seringkali mengabaikan sebuah babak krusial dan tragis yang mendahuluinya, sebuah babak yang bermula dari pengkhianatan politik dan kekalahan militer di Madura, yang secara fundamental mengubah lanskap ekonomi dan politik Nusantara.
Tanggal yang harus dicatat bukan hanya 30 Oktober 1946, tetapi juga 11 November 1743. Tanggal yang tertera dalam Pasal 22 Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum ini merupakan titik balik di mana kedaulatan moneter lokal pertama kali secara sistematis dilucuti. Perjanjian ini menjadi legalisasi bagi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk mencetak koin emas, sebuah hak istimewa yang mereka peroleh sebagai imbalan atas ‘bantuan’ militer, namun sesungguhnya adalah konsekuensi dari sebuah pengorbanan besar.
Kisah ini berpusat pada tokoh legendaris Madura, Gusti Pangeran Cakraningrat IV, seorang pemimpin militer yang tak tertandingi. Pada akhir tahun 1742, ia memimpin ekspedisi heroik yang berhasil merebut kembali Keraton Surakarta dari pemberontak Sunan Kuning, mengembalikan Susuhunan Pakubuwono II ke takhtanya. Sebagai imbalan, Mataram menjanjikan wilayah kekuasaan yang luas, menjanjikan Cakraningrat IV sebuah legitimasi kekuasaan yang tak ternilai. Namun, alih-alih mendapatkan imbalan, ia justru dihadapkan pada pengkhianatan telak. Pada 11 November 1743, Kesultanan Mataram secara sepihak menandatangani perjanjian dengan VOC yang secara eksplisit, pada Pasal 6 dan Pasal 7, menyerahkan kedaulatan atas Madura kepada Kompeni. Langkah ini secara langsung menantang ambisi dan martabat Cakraningrat IV.
Menolak tunduk pada kendali asing, Cakraningrat IV mengambil langkah radikal: ia memproklamasikan kemerdekaan Madura, membebaskan diri dari Mataram dan menantang VOC. Proklamasi ini memicu Perang Madura, yang mencapai klimaksnya dengan invasi besar-besaran Belanda pada 12 Februari 1745. Meskipun berjuang mati-matian, pasukan Madura harus mengakui keunggulan logistik dan persenjataan VOC. Kekalahan yang tak terhindarkan terjadi ketika benteng pertahanan terakhir, Keraton Sambilangan, akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Dengan kepergian Cakraningrat IV, perjuangan dilanjutkan oleh putranya, namun perlawanan itu dipadamkan.
Peristiwa di Sambilangan ini adalah kunci. Keruntuhan kedaulatan politik Madura inilah yang membuka jalan bagi VOC untuk meresmikan kedaulatan moneter mereka melalui Mataram, dua tahun sebelumnya.
Koin Emas VOC dan Manipulasi Simbol Kedaulatan. Pasal 22 perjanjian 1743 memberikan VOC, hak untuk mencetak koin emas. Ini bukan sekadar keputusan lokal, melainkan respons terhadap kebutuhan mendesak VOC akan mata uang yang stabil untuk memfasilitasi perdagangan internasional. Model yang dipilih adalah Rupee Coromandel dari India, yang kemudian dicetak sebagai “Rupee Mohur” atau “Java Rupee” di pabrik pencetakan di Bataviasche. Ironisnya, perjanjian itu secara eksplisit menyebutkan bahwa VOC diberi wewenang untuk membubuhkan “Cap Susuhunan” pada mata uangnya.
Penyerahan hak mencetak uang ini disertai klausul bahwa Susuhunan tidak akan diizinkan menuntut imbalan apa pun, menegaskan sifat perampasan dan ketidakseimbangan kekuasaan. Ini adalah dekonstruksi kedaulatan politik melalui instrumen hukum dan ekonomi. RP. Salman Alrosyid Dungmoso, Founder Museum Uang Perusnia Bangkalan, berpendapat bahwa sejarah ini harus menjadi bagian integral dari peringatan Hari Oeang, sebagai pengingat akan harga kemerdekaan moneter. “Saat kita merayakan Hari Oeang Repoeblik Indonesia, kita merayakan kembalinya hak prerogatif bangsa yang telah lama dirampas. Dan kita harus jujur, perampasan itu secara resmi dimulai pada 11 November 1743, sebuah tanggal yang berkaitan erat dengan kejatuhan Keraton Sambilangan,” tegas RP. Salman Alrosyid Dungmoso.
Beliau menjelaskan lebih lanjut kaitan emosional dan historisnya, “Pengorbanan Gusti Pangeran Cakraningrat IV adalah puncak dari perlawanan terhadap hilangnya kedaulatan. Kekalahan beliau dan kejatuhan Sambilangan adalah momen di mana kontrol atas tanah, rakyat, dan, yang terpenting, ekonomi, diserahkan kepada VOC. Mata uang kolonial seperti Mohur Jawa, yang menjadi tulang punggung sistem Hindia Belanda, secara simbolis dan praktis dibangun di atas keruntuhan kedaulatan Madura itu. Koin-koin itu adalah simbol dominasi yang disahkan setelah darah pejuang Madura tertumpah.”
“Kami meyakini bahwa jejak sejarah moneter bangsa, yang melahirkan Mata Uang Rupiah sebagai manifestasi kedaulatan, berakar pada pengorbanan besar Gusti Pangeran Cakraningrat IV dan Keraton Sambilangan di Madura, yang secara tragis menjadi titik tolak legalisasi sistem moneter kolonial di Nusantara. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Pemerintah memberikan rekognisi dan perhatian yang proporsional atas kontribusi historis beliau yang mendahului ORI 1946, sebab pengorbanan di Sambilangan adalah fondasi tak terucapkan bagi harga kedaulatan moneter kita. Kami, pemangku Dinasti Madura Sambilangan – menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Founder Museum Uang Perusnia Bangkalan, atas pengkajian mendalam yang telah mengungkap sejarah esensial ini; karena mengenang perjuangan Gusti Cakraningrat IV merupakan kewajiban moral untuk memahami bahwa Rupiah yang kita gunakan hari ini adalah puncak dari perjuangan besar di masa lampau.” Ungkap dengan penuh wibawa, RM. Agus Suryoadikusumo, dari pemangku Dinasti Keluarga Gusti Pangeran Cakraningrat IV.
eMHa















